Kebahagiaan Mui Ha
hanya seumur jagung. Setelah anak pertamanya lahir, Mui ha berubah menjadi
sosok wanita yang keras. Anaknya pun sering menjadi korban kemarahannya.
“trus anak 9 bulan
aja kalo nangis saja saya pukul. Saya cubit. Dasar anak gak berguna, kalo tahu
mah gw matiin saya bilang gitu. Udah saya marah-marah, saya lempar anaknya ke
kasur,” ujar Mui Ha mengawali kesaksiannya.
Namun, keberingasan
Mui Ha tidak cukup sampai disitu. Saat anaknya pertama semakin besar, sedikit
kesalahan yang dibuatnya akan berakibat fatal.
“Saya tanya kenapa
lis, bisa tumpah. Dia jawab gak tahu, tahu. Tanyain gak tahu, spontan saya
angkat kemoceng, saya pukul dia. Saya bilang dasar anak gak berguna. Semua
perkataan gak bener, saya ucapkan ke dia,”
Saat anaknya tidak
mau mengaku, Mui Ha semakin ganas menyiksanya.
“Pertama, saya
gigit kupingnya sampai berdarah. Walaupun dia sudah minta ampun, tetap aja dia
saya pukul. Sambil pukul, sambil membayangi muka wajah mama saya”.
Sejak lahir, Mui ha
tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Kehadirannya selalu ditolak
oleh ibu kandungnya.
“Kalau saya panggil
dia mama, dia tidak pernah nyahutin. Kalau saya dekatin, dia selalu dorong.
Saya gak pernah diberi kesempatan dekatin dia, apalagi kalau saya sakit panas
atau apa, mama selalu bilang begini, “kamu
sakit itu kamu sendiri yang mau. Mati aja, ga pa pa. Lo anak yang lebih. Kalau
gw ga ngelahirin lo, ga suka begini,” Pas lahirin saya, mama terus
sering sakit, kena musibah” kata Mui Ha sambil menahan tangis.
Beranjak remaja,
hidup Mui Ha sedikit pun berubah. Seringkali dia dipersalahkan untuk hal yang
tidak ia lakukan.
Suatu waktu, adik
Mui Ha menangis karena menginginkan kue. Mendengar tangisan, kakak Mui Ha
langsung mendatanginya dan menampar hingga pipinya berdarah. Tanpa terlihat
iba, kakak Mui Ha menyuruh dirinya untuk mengkumur-kumur bibirnya yang berdarah
dengan air garam agar darahnya berhenti. Ia pun menuruti perintah tersebut.
Penderitaan Mui
belumlah selesai. Ketika ia membantu adiknya yang sedang terjerumus ke sungai,
Mui Ha malah dimarahi oleh kakaknya sendiri yang tidak jauh dari situ. Bahkan
saat mamanya sampai di tempat dimana dia dan saudarinya sedang bermain, ibu Mui
Ha langsung marah-marah melihat kondisi adik Mui Ha yang penuh lumpur.
Tanpa basa-basi,
sang ibu pun langsung menghajar dirinya. Tangisan dirinya, tidak membuat
mamanya diam atau mengurangi pukulannya. Malah, saat dirinya minta ampun, malah
kata-kata yang kurang pantas keluar dari mamanya sambil terus memukul dirinya
yang sudah menderita.
Namun, siksaan yang
diterima Mui Ha dari ibunya semakin hari semakin parah dan merajalela. Bahkan,
di depan mata ayahnya, sang ibu tega memukul dirinya tanpa alasan.
“Memang saya mandi
di sungai agak lamaan karena saya mencari ikan untuk lauk buat makan. Jadi
mungkin karena kelamaan atau apa, saya juga tidak tahu. Saya udah naik dari
sungai, saya masuk ke dapur tahu-tahu dari belakang mama tarik rambut saya,
dijenggut langsung dipukul, dihajar dengan kayu sebesar batang senter sampai
diri saya terkencing-kencing disitu. Papa yang melihat hal itu, hanya merangkul
saya,” ujarnya. “Melihat diri saya dirangkul papa, mama malah bertambah kasar.
Papa pun segera keluar dari situ dan tidak berapa lama kemudian datang membawa
golok. Bukannya takut, malah perkataan mama semakin menyakitkan dan berkata
kepada papa agar membawa saya pergi dari rumah mereka,” lanjut Mui Ha.
Kebencian Mui Ha
terhadap ibunya sudah memuncak, sebuah tindakan gila menantang sang ibu siap ia
lakukan.
“Saya bilang, “awas lho ma. Kalau saya sudah jadi
orang kuat, saya akan bunuh mama di depan papa. Dan kalau mama mati, saya tidak
akan tangisin mama.”
Mui Ha tidak pernah
membayangkan bahwa hidupnya akan hancur di tangan ibunya sendiri. Hatinya tidak
kuat menahan rasa sedih di dalam batinnya. Rasa sesal hadir di dunia ini pun
menyelimuti dirinya. Tanpa sadar, masa lalunya itu pun terus mengikat dirinya
sampai ia menikah dan mempunyai anak.
Perlakuan kasar Mui
Ha terhadap salah seorang putrinya merupakan hasil masa lalu yang terus ia
ingat. Elis, putri dari Mui Ha yang sering kali mendapat perlakuan kasar
mengaku sedih atas tindakan masa lalu mamanya kepadanya ketika itu.
“Kok mama bisa
begini? Kenapa Elis gak lahir di keluarga yang beda, jangan di keluarga yang
seperti ini,” ungkap Elis sambil menahan tangis.
Dendam telah
membuat Mui Ha menjadi sosok yang kejam sama seperti ibunya, namun hati
kecilnya menjerit, ia tidak pernah mau hidup seperti ibunya.
“Saya gak bisa
lepas kekerasan saya walaupun sebenarnya saya menyesal dengan apa saya lakukan.
Selalu saya tonjok dada saya sendiri dan kepala saya, saya jedotin ke tembok.
Gak bisa hilangin emosi, tetapi gak bisa. Saya merasa tidak menemukan jalan
keluar untuk masalah saya ini,” kisah Mui Ha.
Tak ada yang mampu
mengubah sifat keras Mui Ha, sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang teman.
Kepada wanita tersebut, Mui Ha menceritakan rahasia hidupnya. Dalam pembicaraan
tersebut, temannya memberikan saran kepadanya agar dia bisa mengubah perilaku
terhadap putrinya. Namun, itu tidaklah belum bisa mengubah sifatnya yang keras.
Dua hari kemudian,
Mui Ha dibawa ke dalam sebuah pertemuan yang nantinya akan menjungkir balikkan
hidupnya.
“Dari situ, saya
dengar setiap khotbah yang disampaikan oleh hamba Tuhan yang berdiri di depan
mimbar. Sampai ada satu ayat yang begitu me-rhema di hati saya yakni di Yohanes
3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tetapi, ayat itu seperti bertolak belakang dengan
kenyataanya saat ini. Di mata orang tua saya, saya bukanlah orang berharga; di
mata suami, saya tidak berharga karena saya orang gila.”
Saat
itu juga, Mui Ha ditantang untuk mengampuni ibunya. Bayang-bayang kekejaman
sang ibu sangat melekat di ingatannya. Masih segar di ingatan Mui Ha, saat
terakhir ibu menangis di sisinya. Tidak ada rasa iba yang ditunjukkannya kepada
sang ibu ketika itu bahkan harapan akan kematian cepat dari ibunya itulah yang
diinginkannya.
Kuasa
Tuhan dalam pertemuan itu begitu kuat. Walaupun begitu, perjuangan Mui Ha
melepaskan pengampuan kepada orang-orang terdekatnya tidaklah mudah.
“Pembimbing
saya bilang, kamu bisa, kamu pasti bisa katanya. Kamu panggil Tuhan Yesus. Ya
sudah saya panggil, Tuhan Yesus bantu saya Tuhan, sanggupkan saya untuk bisa
mengampuni mama saya. Ketika saya berteriak Tuhan Yesus yang ketiga kalinya,
saya melihat ada layar putih yang terbuka dan terdengar suara bisikan yang
mengatakan bahwa saya pasti bisa mengampuni mama saya. Saya pun taat dengan
suara Tuhan dan saat itu saya mengambil keputusan untuk mengampuni mama saya.
Saya tahu saya telah ditebus oleh Tuhan dan hidup saya berharga di hadapan-Nya
“
Kata-kata
pengampunan itu telah mencabut setiap akar pahit dari hati Mui Ha. Satu
pengakuan tulus keluar dari hatinya.
“Saya minta ampun
sama Tuhan karena selama ini dendam sama mama, suami, saudara, sama anak. Saya
gak tahu mengapa perasaan dendam itu begitu dalam dan berat, tetapi waktu saya
pertama kali mengampuni mama, saya merasakan kelegaan,”
Hari itu juga, Mui
Ha memberanikan diri memohon maaf kepada kedua anaknya. Tangisan dan pelukan
diantara mereka menjadi sebuah awal hubungan yang baru di antara mereka.
Anak-anak Mui Ha pun mengaku bahwa mereka sudah lama mengampuni setiap kelakuan
dari dirinya.
Mui Ha yang telah
bertahun-tahun menyiksa darah dagingnya sendiri kini telah berubah total
menjadi seorang ibu yang penuh dengan kasih. Dirinya mengaku begitu mengucap
syukur dengan perubahan yang sekarang dia alami di dalam Tuhan Yesus.
“Saya senang
sekali, senang sekali dan selalu tidak pernah habis-habisnya selalu mengucap
syukur,” ungkap Mui Ha menutup kesaksiannya.
(Kisah ini ditayangkan 4 September
2009 dalam acara Solusi Life di O’Channel).
Sumber Kesaksian:
Phang Mui Ha (jawaban.com)
0 comments:
Post a Comment